Sabtu, 27 Desember 2014

METEOR (Cerpen)


    Masa-masa SMA, Masa dimana kita para pelajar berbalut dengan seragam abu-abu. Warna abu-abu yang bisa diartikan serius dan diandalkan, Cukup mewakilkan memang. Oiya kenalkan namaku Muhammad Al-Hafeezy atau lebih akrab dipanggil Fizi dan salah satu SMA didaerah bandung adalah tempat pilihanku untuk menimba ilmu.

Dan dimasa SMA ini pula aku mulai ‘Diajarkan’ betapa indahnya dunia luar, betapa berartinya sebuah ikatan dan pentingnya bersosialisasi dengan sesama. Tetapi, Belum lengkap rasanya bila tidak mengikut sertakan apa itu yang dinamakan “CINTA”. Dan ya! Aku sama seperti remaja pada umumnya yang mulai ‘sedikit’ memahami perasaan itu (CINTA). Walau terkadang selalu muncul tanda tanya besar dalam benakku selama ini, Bagaimana cara mereka datang dan pergi? Dan sepertinya aku akan mendapatkan jawabanya… Dimasa ini.


**
   SMA Harapan Bangsa, Saat itu aku baru menginjak awal semester pertama di kelas 2. Aku dan sahabat kecilku Vanya, Sedang mengobrol dibangku paling belakang. Cerita singkat tentang Vanya, Dia adalah sahabatku dari kecil orangnya agak tomboy dan humoris dari sekolah dasar kita memang tak terpisahkan dan bahkan rumah kita bersebelahan dengan orang tua kita yang saling mengenal satu sama lain.

“Denger-denger, Bakalan ada anak baru loh zi… prempuan lagi!” Celetuk Vanya.
“Memangnya kenapa kalau prempuan?” Balasku dengan nada sinis “Paling bakal sama kaya prempuan kebanyakan.”
Vanya merengut “Ah, kamu dari dulu tetap saja sinis… jangan-jangan kamu homo ya!” Vanya tertawa kecil.
“Sembarangan kalau ngomong!” Dengan wajah semaraut bak kali trotoar.
**
Bel pun berbunyi, Seakan akan suaranya menggiring siswa siswi yang ada diluar untuk segera masuk kelas masing-masing. Dan tak lama kemudian Bu Nia masuk kelas dengan menggandeng anak prempuan asing “Kayanya anak baru itu.” Pikirku.

“Selamat pagi anak-anak! Ini siswi pindahan dari solo yang akan menjadi teman baru kalian nanti, ayo perkenalkan dirimu nak.” Kata ibu nia sambil mendorong anak baru tersebut pelan.


“Hai! Namaku Wanda, Salam kenal!” Sapa wanda dengan suara malu-malu.


Sontak suasana kelas pun berubah menjadi gaduh, Terutama anak laki-laki yang terus tak henti bersiul dan menggodanya tak sopan.
“DIAM!” bentak bu nia diiringi suara gebrakan meja yang cukup keras “Wanda, Kamu bisa duduk disana bersebelahan dengan Vanya.”

Terlihat prempuan dengan rona mata yang indah, penuh gairah dan kedewasaan, Ramah kala menyapa dan indah saat bertutur kata. Menghampiri bangku Vanya yang terletak tepat didepan bangkuku.

“Hai, Namaku Vanya.” Sambut Vanya sambil menyodorkan tangan untuk berkenalan.
“Wanda, salam kenal ya.” Senyum manis terlukis indah diwajahnya.

“Eh, Ini kenalin sahabat aku dari kecil, Namanya Fizi.” Sambil menunjuk ke arahku “Kalau kelakuannnya agak aneh mohon dimaklum ya, soalnya belum pernah deket sama prempuan selain aku.” Ledek Vanya sambil menahan tawa.

“Dasar.” Sambarku “Oiya, Fizi.”
“Wanda.” Balas Wanda dengan sesekali tertawa kecil melihat tingkah laku kita berdua.” 
    Mungkin sejak saat itu, Awal dimana kita mulai bersahabat dekat. Sekarang bukan hanya Aku dan Vanya, Tapi juga ada Wanda.


**
   Waktu berjalan begitu cepat, Tak terasa sudah 2 tahun berlalu. Ujian Nasional pun telah kita lewati, rasanya lega sekali kita hanya tinggal menunggu hari kelulusan saja dan mulai memikirkan universitas mana yang mau kita pilih nanti.

    Sore hari, ketika langit mulai dipenuhi warna jingga dengan sedikit ditutupi awan kira-kira pukul 16.30 WIB. Aku bergegas menuju sebuah cafe disekitaran Jl.Riau Bandung. Asteroid Cafe namanya, Cafe ini memang menjadi tempat favorite kami berkumpul, entah itu hanya untuk sekedar mengobrol atau belajar bersama.

    Waktu itu aku datang sedikit terlambat, dan sesaat aku tiba kulihat dari kejauhan sesosok prempuan muda yang anggun dengan rambut yang dibiarkan terurai lepas, berbalut sweatshirt bermotif lukisan aztec kuno dengan perpaduan warna-warna gelap, memakai rok selutut berwarna senada, dengan kaki berhiasi sepatu high heels manis berwarna coklat krem. Dengan wajah tergadah, seraya mengatup kedua tangan agar membentuk corong disekitar mulut, aku berteriak “WANDA!”
“Hei, disini!” Sembari melambaikan tangan lentiknya.

Tak pikir panjang aku menghampiri prempuan anggun tersebut dan duduk dihadapannya. Suasana cafe tak terlalu ramai, dengan tembok ber-wallpaper dipenuhi bintang-bintang, serta meja dan kursi bergaya futuristik yang menambah kesan luar angkasa begitu kental.
“Vanya kemana?” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Vanya gak bisa kesini, katanya ada les.” Dengan raut muka cemberut.
**
Entah bagaimana menjelaskannya, jujur aku senang vanya tidak datang, karena dengan ketidak ikut sertaan vanya aku bisa mengobrol dengan wanda hanya berdua saja. Iya, sebenarnya aku telah lama jatuh hati dengan sahabatku ini. Entah kapan aku tak tahu pasti tapi perasaan ini tiba-tiba saja berubah semenjak awal-awal kelas 3, rasa yang tak pernah aku rasakan ketika dengan vanya selama ini. Dan banyak kesamaan dari kita dari yang sama-sama suka menulis, sama-sama suka menghabiskan waktu diperpustakaan daripada dikantin, sampai genre film yang kita sukai juga sama. Cinta memang bekerja secara misterius, Kapan? Dimana? Dengan siapa? Tak bisa ditebak! Seperti asteroid yang melayang tak tentu arah diluasnya galaksi, menunggu sang gravitasi menariknya jatuh menembus atmosfir dan mejadikannya sebuah meteor yang melesat indah namun mematikan.


**
     Pilihan prempuan manis itu jatuh pada Spaghetti Nebula berupa pasta dengan topping potongan gurita yang ditemani secangkir kopi dengan latte art galaksi bima sakti dan The Rings Of Jupiter, donat Vanilla berbentuk pipih dibagian pencuci mulut. Sedangkan aku seperti biasa memesan MEATEORBALLS, Baso bakar dengan sauce spaghetti dan minuman segar warna-warni bernama  Aurora Jungle Juice. Sungguh unik memang menu makanan di cafe ini, sangat identik dengan istilah-istilah astronomi.
    Tiba-tiba terdengar rintik-rintik air jatuh dari luar cafe, tanda akan hujan. Hujan yang kian menderas menghapus warna jingga yang menyala di batas langit sore itu. Namun hatiku tetap cerah karna melihat secercah senyum yang terlukis indah diwajah prempuan itu ketika ku melemparkan candaan-candaan ringan kepadanya.

Disela-sela pembicaraan santai kita, tiba-tiba Wanda mengepalkan kedua tangan tanda akan berbicara hal yang serius “Ada hal yang mau aku omongin.” Wanda mengalihkan pembicaraan dengan raut wajah yang berubah menjadi serius.
“Oiya kebetulan aku juga ada.” Jawabku yang sebenarnya berniat menyatakan Cinta kepada prempuan satu ini, karenaku fikir ini waktu yang tepat.
“Kamu dulu wan, ladies first!” Sembari melahap baso bakar yang tadiku pesan.
“Aku akan kuliah, di New York.”
Sontak aku kaget dan tersedak baso yang tadi ku makan.
“Hah New York? Dimana?” Aku bertanya dengan ekspresi masih kaget bukan main.
“Di Columbia University, English Literature.” Wanda menundukan kepala.
“Kenapa harus di New York? Kita pasti jarang bertemu kalau kamu kesana.” jawabku protes.
“Kita punya impian masing-masing, aku harap kamu jangan egois.” Wanda mencoba mengelak.
“Egois? Ini karena aku cinta sama kamu… Wanda! Bukan cinta sebagai sahabat tapi lebih!” Kalimat itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku. Tapi, dilihat dari raut wajah Wanda sepertinya dia tak terlalu kaget mendengar pernyataanku barusan. Bak sudah tahu dari dulu.

"Kamu gak tau apa yang sebenernya terjadi, Vanya sangat mencintai kamu! Dan kamu tahu hal terburuknya apa?"
Lututku lemas apakah keadaan bisa lebih buruk lagi daripada ini pikirku, Kemudian aku menggelengkan kepala pelan.
“Hmmm… Aku mencintai Vanya! Iya, aku seorang LESBIAN!”
**
Jantungku seakan-akan berhenti berdetak saat itu juga, jiwaku masih diambang antara percaya dan tidak percaya mendengar apa yang barusan Wanda katakan. Tak pernah terpikir selintas pun skenario dimana prempuan yang kucintai mengalami penyimpangan prilaku seksual, seorang (maaf) Lesbian.
Namun semakinku mengelak berulang-ulang dalam hati semakin ku sadar jika aku tak salah mendengar dan semakin sakit pula rasanya sampai menusuk ulu hati. CINTA SEGITIGA YANG ANEH!

"Sejak kapan?" Tanyaku hati-hati dalam keadaan masih shock.
“Sejak ayah dan mamah bercerai, dan kamu tahu kenapa mereka bercerai?”
Aku menggelengkan kepala untuk kedua kalinya, sembari menelan ludah.
“Dulu Ayah suka nyakitin Mamah, baik itu secara fisik atau batin. Sejak saat itu aku mulai membenci laki-laki. Tapi, kamu pengecualian dan maaf aku gak bisa nerima cinta kamu… Mungkin kamu salah orang.”

Dan, beberapa saat suasana mulai menghening sebelum ku berkata.
“Aku gak salah, Justru kamu yang salah!” Aku mengepal tangan erat erat “Gak seharusnya kamu mencintai Vanya, Kamu telah menyalahi kodrat yang diberikan Tuhan.” Hatiku meletup-letup.
“Tahu apa kamu soal Tuhan? Kamu pikir aku mau seperti ini? Sudahlah, sekarang aku cuma bisa berharap kamu bisa membahagiakan Vanya… sahabatku, sahabat kita!” Air mata Wanda tak terbendung lagi, tetes demi tetes membasahi pipinya yang merona. Kini, wajah tegasnya tak bisa menutupi luka yang teramat dalam.
**
“Hari sudah malam, aku harus pulang.” Wanda memalingkan wajahnya dan berdiri. Dengan keadaan make up yang luntur akibat menangis tersedu, Wanda berjalan keluar dengan pelan namun pasti. Meninggalkanku membeku diluasnya jagar raya, dan malam itu dunia jadi terasa sunyi senyap dan gelap gulita. Hanya kesendirian begitu senantiasa menemani hatiku yang remuk redam.
**
    Cinta menunjukkan dirinya sendiri malam itu bahwa sampai kapan pun cinta akan terus berada dalam kendali Tuhan Sang Mahacinta. Bukan Aku, bukan Vanya, dan bukan Wanda yang kuasa menciptakan dan menghilangkannya. Sejak saat itu pula aku dan Wanda bungkam sampai aku meminta Vanya menjadi kekasihku atas kemauan Wanda tentunya. Sakit, itu yang kurasakan! Tapi aku tahu, perasaan Wanda jauh lebih sakit!
Pada hari dimana aku dan Vanya mengantarkan kepergian Wanda dari bandara Soekarno-Hatta menuju New York pun kita masih bungkam seakan-akan kejadian malam itu tak pernah terjadi, dan entah sampai kapan aku harus memainkan sandiwara ini. Tapi ada satu hal yang masih ku yakini sampai sekarang, bahwa METEOR INDAH itu suatu saat nanti akan memilih hatiku untuk berpijak… Dalam keabadian… (Bersambung)



2 komentar: